Lebih dari Delapan Windu Indonesia

I

Maka lebih dari sepuluh abad sudah,

tanah subur, negeri seribu pulau,

negeri pulau kelapa

yang diapit Samudra Pasifik dan Samudra Hindia

diantara Benua Asia dan Benua Australia.

Timur dan Barat

ialah bentangan sawah, ladang permai, terhampar.

Selatan ke utara

ialah belahan laut, selat, dan teluk membiru.

Sejak Kutai terlahir, Samudra Pasai berdiri, Mataram berjaya, dan

Majapahit menyatukan nusantara,

sejak Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda menyentuh bumi pertiwi

hingga lebih dari setengah windu Jepang menduduki bumi ini.

“Ikam Bangsa Indonesia, hami Bangsa Indonesia, awak Bangsa Indonesia,

kito wong Indonesia.”

Yang terangkum dalam satu bahasa,

tepatnya dua puluh delapan Oktober

“Kami bangsa Indonesia.”

Telah mengalir dari Selat Sunda, Selat Makasar, Selat Malaka,

Laut Flores, dan akhirnya terapung di tujuh puluh tiga juta muara hati Indonesia.

 

II

Lebih dari delapan windu sebelum tahun ini,

bumi yang berhiaskan semangat-semangat terpahat indah,

tersusun menurut heningnya cipta,

terukir oleh sucinya hati.

Dan genderang merdeka tak pernah berhenti mengalun

hingga tiang kemerdekaan ditegakkan!

 

III

Lebih dari delapan windu sebelum musim hujan ini mengguyur,

satu kali seribu bunga bangsa gugur.

Namun, semangat selalu tidak terukur,

teriakan “Merdeka!” takkan boleh terkubur.

Hingga tujuh belas Agustus empat-lima,

kami panjatkan syukur;

Indonesia merdeka.

 

IV

Di hadapan milyaran umat dunia,

Bung Hatta memperkenalkan nama Indonesia.

Dihadapan sekitar tujuh puluh tiga kali satu juta umat Indonesia,

Bung Karno menyerukan buka mata, buka otak, buka telinga

untuk membangun bangsa dan negara.

Dalam revolusi Indonesia,

Bung Sjahrir berjuang di bawah tanah,

membakar semangat pemuda Indonesia.

Sementara itu, seabad yang lalu,

Ibu Kartini membangkitkan, dan memberikan

inspirasi bagi jutaan wanita Indonesia.

Semangat NKRI tak pernah punah.

“Hidup Indonesia!”

 

V

Lebih dari delapan windu sebelum bulan ini,

Semboyan bangsa kami,

“Bhinneka Tunggal Ika,”

Bukan hanya angin darat yang mendesir,

bukan pula air hujan yang menitik.

Semboyan kami adalah anak sungai yang mengalir,

menyatukan tak kurang dari dua–tiga laksa telaga

hingga perceraian pun terbasmi.

 

Bulan ini,

di bumi Sintuwo, Poso,

merah putih terbelah,

persatuan ialah angin-angin lalu

yang menyiratkan membunuh atau dibunuh,

hidup atau mati atau lainnya.

 

Minggu ini,

pekikan haleluya menyelimuti tanah Kutai.

Ingar-bingar saling beradu:

celurit, mandaw, keringat, darah, air mata,

bersatu padu dalam Perang Sampit.

 

VI

Lebih dari delapan windu sebelum hari ini,

Bangsa Indonesia bukanlah benalu tak tau malu,

yang tumbuh dekat-dekat tirani melulu;

saat-saat musim kemarau dan dianggap pengganggu.

Sebelum musim hujan juga datang,

benih-benih perdu kami telah tumbuh;

bermekaran; menebarkan aroma,

ialah sila-sila “Pancasila.”

 

Hari ini,

Indonesia merana,

birokrasi dimana-mana,

kemiskinan lebih tinggi dari menara,

para petinggi ialah objek adikara,

sedangkan pendidikan hanyalah sejenis sara!

 

Indonesia terpuruk;

KKN semakin memburuk;

kelaparan ialah mimpi busuk;

wakil rakyat makin maruk*

wanita mudah dibujuk─

 

VII

Lebih dari delapan windu sebelum pukul satu sekarang:

“Negeri ini: Negara Kesatuan Republik Indonesia,

negara hukum yang berlandaskan UUD 1945,

negara demokratis; kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dan keadilan diperuntukkan untuk rakyat!”

 

Pukul satu sekarang,

tongkat kekuasaan ditanggung oleh mereka yang pincang:

pejabat dengan pejabat,

si jelata dengan jelata.

 

VIII

Lebih dari delapan windu sudah, negeri kami berseri;

Lebih dari delapan windu sudah, tanah kami bersemi;

Dan setelah lebih dari delapan windu kemarin,

saat harumnya bunga bangsa tersapu oleh debu bangsa sendiri:

“Besok Indonesia akan kembali dijajah?”

By Okta hariansyah

Leave a comment